Pelajaran apa yang bisa ditarik dari insiden di kapal Mavi Marmara? Penyelidikan lebih mendalam mengenai detail insiden tersebut perlu dilakukan, tetapi secara lebih mendasar insiden tersebut menunjukkan kegagalan solusi terhadap Gaza.
Gaza menjadi titik panas dalam relasi Israel-Palestina karena dua perkara. Pertama, Gaza merupakan laboratorium proses perdamaian. Penarikan Israel dari Gaza, berdasarkan kesepakatan Oslo, merupakan langkah awal bagi pencapaian kesepakatan final dan pembentukan negara Palestina. Gaza dipandang lebih mudah diselesaikan jika dibandingkan dengan Tepi Barat.
Kedua, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa penarikan diri Israel dari Gaza menandai berakhirnya proses politik Israel-Palestina. Keputusan Israel menarik diri dari Gaza pada tahun 2004 justru menjadi tanda kegagalan proses negosiasi yang dibangun sejak 1993.
Ada dua alasan mengapa hasil yang diharapkan tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Pertama, faktor Hamas. Hamas yang memiliki kontrol nyata atas Gaza menjadi momok yang menakutkan bagi proses perdamaian, Israel, dan Otoritas Palestina. Kedua, Gaza senantiasa dipandang sebagai aset politik, baik oleh Israel, Otoritas Palestina, maupun Hamas. Sebagai aset, kebutuhan publik Gaza cenderung dilupakan.
Karut-marut relasi segitiga antara Hamas, Otoritas Palestina, dan Israel tersebut menjadi alasan diberlakukannya kebijakan blokade atas Gaza oleh Pemerintah Israel. Meski melepas kontrol atas Gaza, Israel tidak melepas kontrol atas akses masuk dan keluar barang dan jasa ke dan dari Gaza.
Melepas blokade Gaza
Dalam jangka pendek, dua instrumen dapat digunakan untuk kembali memulai pembicaraan tentang Gaza dalam kerangka yang tepat. Pertama, kesepakatan gencatan senjata yang melibatkan Hamas dan Israel. Kesepakatan ini akan mendorong Israel untuk lebih memperlonggar kebijakan atas Gaza.
Sejalan dengan langkah ini, pelibatan organ-organ internasional dapat dilakukan untuk membantu pengawasan terhadap arus masuk dan keluar barang dan jasa ke dan dari Gaza. Mengingat Israel kemungkinan besar akan menolak kehadiran misi perdamaian PBB, opsi yang bisa dimanfaatkan adalah memaksimalkan fungsi dari pengamat- pengamat Uni Eropa yang selama ini mengawasi pintu masuk Gaza-Mesir dan UNRWA yang mengurusi pengungsi Palestina. Mengingat peran keduanya cukup terbatas, pengawasan masyarakat internasional terhadap kebijakan Israel dan Hamas harus terus dilakukan.
Lebih jauh, kontradiksi tersebut juga dapat dijembatani jika ada pengakuan terhadap keberadaan Hamas sebagai salah satu aktor dalam proses perdamaian.
Ada dua pilihan untuk melibatkan Hamas dalam proses perdamaian. Pertama, proses perdamaian bisa mengadopsi strategi pembicaraan dua level (intra-Palestina kemudian dilanjutkan dengan Israel-Palestina) yang cenderung disukai Israel, tetapi sensitif bagi Otoritas Palestina, atau, kedua, proses perdamaian bisa mengadopsi strategi pembicara tiga pihak yang sangat sensitif bagi Israel, tetapi lebih tidak sensitif bagi Otoritas Palestina.
Pilihan pertama sebenarnya lebih masuk akal mengingat minimnya resistensi dari Israel dan para mediator Barat. Hanya saja, pilihan ini akan mengorbankan independensi Otoritas Palestina dalam mengelola masalah domestiknya. Tatanan demokrasi yang dijalankan di Palestina pasca-Yasser Arafat sebenarnya menjadi salah satu solusi terbaik, tetapi sayangnya kemenangan Hamas dalam pemilu legislatif dinodai oleh penolakan Barat dan Israel. Fatah yang mendominasi PLO, organ tunggal yang diakui keberadaannya secara internasional sebagai wakil Palestina, pun cenderung memilih untuk mengambil keuntungan sesaat dengan aneka alasan.
Kedua alternatif tersebut harus diletakkan dalam kerangka membangun kontrol efektif Otoritas Palestina atas wilayah Gaza. Tanpa adanya kontrol yang efektif dari Otoritas Palestina, harga yang harus dibayar oleh Hamas untuk bisa menjadi pemain proses perdamaian, proses perdamaian tidak akan bisa dijalankan dengan baik.
RI dan internasional
Dalam konteks Indonesia, pilihan menjadi mediator dalam kedua strategi cenderung sulit dilakukan. Dalam pilihan pertama, tekanan Indonesia dalam penyelesaian konflik intra-Palestina akan bisa dipandang sebagai intervensi atas urusan domestik Otoritas Palestina.
Dalam pilihan kedua, tekanan Indonesia akan menjadi tidak efektif mengingat ketiadaan saluran langsung Indonesia-Israel. Peran maksimum yang bisa dijalankan Indonesia adalah menggalang kekuatan penengah untuk lebih melihat kebutuhan menerima eksistensi Hamas sebagai pemain dalam proses perdamaian, baik dalam strategi pertama maupun kedua.
Indonesia dapat berperan sebagai lem perekat para mediator untuk lebih bersikap lebih kritis dalam penyelesaian masalah Gaza. Kritis dalam artian mampu untuk lebih tanggap terhadap niat politik Hamas, tetapi juga mampu untuk resisten terhadap aksi kekerasan oleh siapa pun, Israel dan Hamas. Pilihan tersebut dapat dijadikan agenda pembicaraan antara Indonesia dan AS, mediator utama proses perdamaian, meski harus dilakukan secara diam-diam.
Mavi Marmara bisa jadi korban pertama masalah Gaza yang berasal dari luar Gaza. Namun, patut dicatat bahwa para pemukim Gaza, bukan Hamas, Otoritas Palestina, apalagi Israel, merupakan korban sesungguhnya yang sering terlupakan. Jangan lagi mereka dilupakan.
sumber : Broto Wardoyo, Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional, UI
Rabu, 02 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar