Rabu, 02 Juni 2010

Obama dan Logika Israel

Tak bisa diterima, biadab dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Itulah beberapa reaksi komunitas internasional atas serangan berdarah Israel terhadap penumpang kapal berbendera Turki, Mavi Marmara, yang membawa relawan serta bantuan kemanusiaan menuju Jalur Gaza.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebutnya ”pembantaian” dan ”kejahatan menjijikkan”. Ia mendeklarasikan tiga hari berkabung di kawasan Palestina. Pemerintah Turki menuduh ”Israel sengaja membunuh warga sipil tak berdosa dan kembali menunjukkan mereka tidak peduli dengan kehidupan manusia serta upaya perdamaian”.

Negara-negara Eropa yang tak jarang diam atas ulah Israel pun bereaksi keras. Bahkan, pemerintah Perancis yang sebenarnya sangat bersahabat dengan Israel mengatakan ”tak ada alasan apa pun untuk membenarkan tindakan kekerasan tersebut”.

Rusia menuntut anggota kuartet perundingan Timur Tengah, yaitu PBB, Rusia, Uni Eropa, dan terutama AS, segera menekan Israel. Sebuah tuntutan yang tak mudah dilakukan melihat reaksi Israel dan kelompok lobinya selama ini atas desakan Obama untuk memulai lagi perundingan perdamaian dengan Palestina.

Arah baru AS

Dalam KTT Nuklir baru-baru ini, Obama dengan tegas mengatakan, perdamaian Timteng adalah kepentingan vital bagi keamanan nasional AS. Sebuah kalimat yang—oleh Israel dan penduduk Yahudi AS—dianggap sebagai arah baru kebijakan AS yang semakin mengambil jarak terhadap Pemerintah Israel.

Tersirat dalam kalimat Obama, ”Hati-hati Israel, kami tidak akan tinggal diam dalam konflik Timteng karena kepentingan kalian tidak lagi menjadi kepentingan kami.” Kebijakan pembangunan permukiman Yahudi di Yerusalem Timur oleh Pemerintah AS dianggap telah merusak misi AS di Timteng serta memperkuat musuh-musuh AS, seperti Iran dan Al Qaeda serta membahayakan tentara AS di Bagdad dan Kabul (Die Zeit, 31/6/2010).

Baru-baru ini, di hadapan Senat, Kepala Staf Angkatan Bersenjata AS mengatakan, konflik antara Israel dan Palestina serta pendudukan Tepi Barat oleh Israel telah menyulut gerakan anti-AS di seluruh dunia.

Kemarahan AS bermula saat Wakil Presiden Joe Biden seakan disambut kedatangannya lewat pernyataan provokasi Mendagri Israel tentang pembangunan 1.600 rumah susun baru di kawasan pendudukan. Namun, seperti biasa, reaksi keras Washington tanpa tindak lanjut. Apakah pembunuhan terhadap warga sipil di kapal bantuan kemanusiaan untuk Gaza jadi momentum bagi Obama untuk bertindak tegas?

Kita berharap positif meski banyak yang meragukan. Obama boleh saja mengatakan ”enough is enough”, tetapi menghentikan bantuan keuangan dan militer bagi Israel? Rasanya tak mungkin karena solidaritas dengan Israel adalah sebuah keniscayaan bagi AS, raison d’etre.

Sangat mungkin, selain kegeraman, yang tersisa bagi Obama hanya membangun dan memperkuat tekanan internasional terhadap Israel untuk terlibat dalam perundingan dengan Palestina. Terkadang, saat-saat terakhir, Israel mengalah. Itulah yang terjadi pada masa Bill Clinton dan George Bush Sr dalam perundingan damai Oslo dan Taba.

Logika militer

Psikolog terkenal Israel, Dan Bar-On, menulis, ”Warga Israel merasa dirinya sebagai korban. Puluhan tahun lalu, di Eropa, bangsa Yahudi menjadi korban Nazi-Hitler dan negara-negara lain. Eksodus ke Israel untuk meninggalkan peran sebagai korban.

Namun, di Timteng mereka juga diserang negara-negara Arab. Merasa jadi korban dan sebagai bagian dari kebaikan memunculkan pandangan dunia yang sederhana dan percaya harus melakukan pembalasan dengan moto siapa yang mencoba membunuhmu, bunuhlah dia sebelum itu terjadi.”

Bagi Bar-On, sebuah otokritik akan membuka saluran perdamaian yang tersumbat. Israel harus belajar mengatasi perannya sebagai korban. Hanya dengan demikian, pengintegrasian negara Israel dalam lingkungan Arab bisa sepenuhnya terjadi. Apa yang bisa dilakukan Israel agar tidak jadi bagian asing di kawasan ini?

Bagi Bar-On, warga Israel harus secepatnya memulai sepenuhnya hidup di Timteng. Hingga kini, kebanyakan mereka masih saja percaya berumah di Eropa dan AS. ”Hidup di Timteng”, lanjutnya, ”harusnya berarti belajar bahasa Arab agar bisa lebih mengerti apa yang terjadi di negara-negara tetangga. Perlu ditemukan cara untuk hidup dan bekerja bersama dan tidak hanya membunuh mereka.”

Hidup dalam situasi perang berkepanjangan, lambat laun akan sulit dipahami mayoritas warga dunia. Meningkatnya protes akibat melejitnya jumlah korban sipil dalam setiap agresi Israel, hancurnya infrastruktur dasar serta pemusnahan kreasi peradaban, akan menggusur kemampuan dan kesediaan memahami logika militer. Kompleksitas sebuah konflik direduksi dalam formula siapa lebih kuat atau siapa lebih menderita. Emosi menggantikan obyektivitas. Tiba-tiba, yang tadinya (merasa sebagai) korban, jadi agresor.

Pada nurani terdalam siapa pun, termasuk publik Israel, pasti menginginkan hidup damai. Namun, mereka diberondong opini politisi dan militer tentang tiadanya alternatif selain perang. Kalkulasinya ketika melakukan agresi di Gaza, setelah kehancuran total, setelah bantuan kemanusiaan pun dilarang masuk dan dihancurkan, rakyat Palestina akan jenuh dan berhenti melawan. Logika militer yang patut diragukan. Yang lebih mungkin, mayoritas rakyat Palestina dan siapa pun di muka bumi ini akan membenci dan sangat marah kepada agresor.

SUMBER : http://internasional.kompas.com/read/2010/06/03/08430181/Obama.dan.Logika.Israel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar